Di tengah derasnya arus globalisasi, modernisasi, dan transformasi digital, jumlah santri di banyak pesantren saat ini cenderung mengalami penurunan. Fenomena ini tentu memantik keprihatinan sekaligus menjadi panggilan refleksi: bagaimana nasib peradaban bangsa jika kaderisasi santri melemah, sementara pesantren selama berabad-abad telah terbukti menjadi garda depan dalam menjaga moralitas, keilmuan, dan jati diri bangsa?
Santri dan Jejak Sejarah Peradaban Bangsa
Santri bukan sekadar murid yang menimba ilmu agama di pesantren. Sejak masa perjuangan, santri telah menunjukkan kontribusi nyata: dari resolusi jihad yang dideklarasikan Hadratussyaikh KH. Hasyim Asy’ari pada 22 Oktober 1945, hingga peran-peran strategis ulama dan pesantren dalam mengawal kemerdekaan, menanamkan nilai kebangsaan, serta menjaga kerukunan umat.

Sejarah membuktikan, santri adalah subjek aktif dalam membangun peradaban. Mereka bukan hanya penjaga tradisi, tetapi juga agen perubahan yang membumikan nilai-nilai keislaman dalam kehidupan berbangsa.
Tantangan Santri di Era Modern
Kini, di tengah era digital yang serba instan, keberadaan pesantren menghadapi tantangan serius. Banyak generasi muda yang lebih tertarik dengan dunia modern, teknologi, dan gaya hidup praktis, sementara kehidupan pesantren dianggap “kuno” atau “ketinggalan zaman”. Akibatnya, jumlah santri di beberapa pesantren menurun, dan semangat pengabdian kepada ilmu mulai memudar.
Namun, sesungguhnya justru di era inilah urgensi santri semakin nyata. Bangsa ini membutuhkan sosok yang bukan hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga matang secara spiritual, kuat secara moral, dan tangguh menghadapi derasnya perubahan zaman.
Urgensi Santri sebagai Penjaga Moral dan Inovator Bangsa
Santri diharapkan mampu tampil sebagai:
- Penjaga Moral Bangsa – menjaga nilai-nilai luhur, akhlak, dan spiritualitas di tengah krisis moral.
- Penggerak Ilmu dan Teknologi – santri modern harus akrab dengan literasi digital, sains, dan inovasi, tanpa kehilangan akar tradisi.
- Agen Moderasi Beragama – menebarkan Islam yang damai, toleran, dan rahmatan lil ‘alamin sebagai penyejuk di tengah keragaman bangsa.
- Pelopor Kemandirian Ekonomi – pesantren dan santri dituntut melahirkan wirausaha yang mandiri, kreatif, dan mampu menopang kemandirian umat.
Refleksi dan Jalan ke Depan
Jika jumlah santri terus berkurang, maka bangsa ini akan kehilangan salah satu benteng terkuatnya. Maka, pesantren perlu berbenah dengan memperkaya kurikulum yang relevan, mengintegrasikan ilmu agama dengan ilmu pengetahuan modern, serta membangun ekosistem pendidikan yang adaptif terhadap perkembangan zaman.
Di sisi lain, orang tua dan masyarakat harus menyadari bahwa menyekolahkan anak di pesantren bukan berarti mengurung masa depan, melainkan justru membuka jalan bagi lahirnya generasi yang berkarakter, berilmu, dan siap memimpin bangsa dengan jiwa yang bersih.
Penutup: Santri, Pilar Peradaban Masa Depan
Santri adalah harapan dan tiang peradaban bangsa. Dalam dirinya menyatu keilmuan, spiritualitas, dan pengabdian. Di tengah menurunnya jumlah santri, refleksi ini harus menjadi alarm kebangkitan: sudah saatnya bangsa kembali meneguhkan pesantren sebagai pusat peradaban dan santri sebagai motor pergerakan bangsa.
Karena sejatinya, tanpa santri yang ikhlas berjuang, negeri ini akan kehilangan ruhnya.
Penulis : Moch Fahmi Amiruddin, M.Pd.











