Menu

Mode Gelap
Santri Sabiilunnaja dan KBNU Meriahkan Upacara Hari Santri Nasional 2025 di Lapangan Kecamatan Cipeundeuy KH. Agus Yudhi Mubarak : Santri Harus Kokoh dan Solid untuk Agama dan Bangsa GP Ansor Bandung Barat dan BPBD Akan Gelar Lokakarya Santri Siaga Bencana GP Ansor Kabupaten Bandung Barat Gelar Safari Religi Bersama Coklat Kita: Santri Riding dan Ziarah Kubro Warnai Hari Santri 2025 Yayasan Singer Tengah Gelar Pendidikan Politik dan Bela Negara, Dorong Pemuda Cinta Tanah Air Dari Sukabumi, Suara untuk Pesantren: GP Ansor Minta Media Hargai Warisan Moral Bangsa “Pesantren Bukan Bahan Lelucon, Tapi Benteng Moral Bangsa”

Artikel

Efek Domino Kerusuhan Demonstrasi Agustus 2025: Perspektif Talcott Parsons

badge-check
Gambar: Kerangka pemikiran berdasarkan teori AGIL Persons

Gambar: Kerangka pemikiran berdasarkan teori AGIL Persons

Oleh: Ali Mursyid dan Fardan Abdul Basith

Pendahuluan

Kerusuhan sosial di Indonesia bukanlah hal baru, melainkan fenomena berulang yang muncul setiap kali ada ketidakseimbangan antara rakyat, pemerintah, dan kondisi ekonomi. Tahun 2025 diprediksi menjadi periode kritis dengan meningkatnya ketidakpuasan publik, ketidakstabilan politik, dan krisis ekonomi global yang berdampak pada Indonesia. Dalam memahami dinamika ini, teori AGIL Parsons menjadi salah satu kerangka analisis yang relevan.

AGIL adalah akronim dari Adaptation, Goal Attainment, Integration, dan Latency, yang masing-masing menjelaskan fungsi penting agar sistem sosial dapat bertahan. Ketika salah satu fungsi gagal berjalan, masyarakat berpotensi menghadapi disintegrasi hingga kerusuhan. Artikel ini akan membedah kerusuhan Indonesia 2025 menggunakan perspektif AGIL Parsons secara mendalam.

Teori AGIL Parsons: Sebuah Tinjauan Singkat

Talcott Parsons, seorang sosiolog terkemuka, mengembangkan teori AGIL untuk menjelaskan bagaimana sistem sosial bisa tetap stabil meski menghadapi tantangan. Menurut Parsons, agar suatu sistem sosial dapat bertahan, ia harus memenuhi empat fungsi utama:

  1. Adaptation (Adaptasi) → kemampuan beradaptasi terhadap lingkungan.
  2. Goal Attainment (Tujuan) → kemampuan menetapkan dan mencapai tujuan kolektif.
  3. Integration (Integrasi) → kemampuan menjaga solidaritas sosial dan mengelola konflik.
  4. Latency (Nilai) → kemampuan mempertahankan nilai dan norma agar tetap dipatuhi.

Dalam konteks Indonesia, teori ini membantu menjelaskan mengapa krisis sosial sering kali terjadi akibat ketidakseimbangan fungsi-fungsi tersebut. Misalnya, ketika pemerintah gagal menyalurkan aspirasi rakyat, maka fungsi Goal Attainment terganggu, yang pada akhirnya memicu kerusuhan.

Adaptation (Adaptasi) dalam Konteks Kerusuhan 2025

Fungsi adaptasi dalam AGIL menekankan bagaimana sistem sosial menyesuaikan diri terhadap perubahan lingkungan, baik ekonomi, politik, maupun sosial. Secara ideal, adaptasi berarti adanya pembagian peran sosial yang seimbang antara negara, masyarakat, dan sektor swasta.

Namun, realitas tahun 2025 menunjukkan adanya kegagalan adaptasi terhadap krisis ekonomi dan politik. Beberapa contoh konkret meliputi:

  • Inflasi tinggi yang tidak diimbangi dengan kebijakan ekonomi protektif.
  • Krisis energi global yang memengaruhi harga kebutuhan pokok.
  • Kegagalan pemerintah dalam menciptakan lapangan kerja baru.

Kegagalan adaptasi ini mendorong ketidakpuasan publik, meningkatnya angka pengangguran, serta maraknya demonstrasi. Dengan kata lain, ketika sistem sosial tidak mampu beradaptasi, masyarakat mencari cara lain untuk mengekspresikan kekecewaannya, yang sering berujung pada kerusuhan.

Goal Attainment (Tujuan) dalam Krisis Sosial

Fungsi tujuan dalam AGIL berhubungan dengan kemampuan suatu sistem menetapkan serta mewujudkan aspirasi kolektif masyarakat. Secara ideal, pemerintah mampu menyalurkan kepentingan rakyat dalam bentuk kebijakan yang adil.

Namun, pada realitasnya, aspirasi rakyat tahun 2025 banyak yang tidak tersalurkan. Kesenjangan sosial makin lebar, distribusi kekayaan tidak merata, dan kebijakan politik sering kali hanya menguntungkan kelompok elit. Ketika rakyat merasa tujuan kolektif tidak tercapai, muncul rasa frustasi yang kemudian berubah menjadi aksi protes dan kerusuhan.

Contohnya, tuntutan masyarakat mengenai kesejahteraan dan keadilan ekonomi sering kali hanya menjadi janji politik tanpa realisasi nyata. Hal ini menunjukkan adanya jurang besar antara tujuan ideal dan realitas sosial, yang menjadikan teori AGIL sangat relevan untuk menjelaskan krisis ini.

Integration (Integrasi) dan Fragmentasi Sosial

Fungsi integrasi dalam AGIL menekankan pentingnya solidaritas dan harmoni sosial agar masyarakat tetap bersatu meski menghadapi perbedaan. Dalam konteks Indonesia, integrasi sangat penting mengingat keragaman etnis, agama, dan budaya.

Namun, tahun 2025 ditandai oleh fragmentasi sosial yang semakin tajam:

  • Rakyat vs pemerintah akibat krisis kepercayaan.
  • Konflik horizontal antar kelompok masyarakat.
  • Meningkatnya politik identitas yang memperuncing perbedaan.

Ketika fungsi integrasi melemah, masyarakat kehilangan solidaritas kolektif, dan konflik lebih mudah meletus. Kerusuhan yang terjadi bukan hanya persoalan ekonomi, tetapi juga masalah ketidakmampuan menjaga kohesi sosial.

Latency (Nilai) dan Erosi Kepercayaan

Fungsi Latency dalam teori AGIL Parsons menekankan bagaimana suatu masyarakat mempertahankan nilai, norma, dan moral yang menjadi fondasi kehidupan bersama. Dalam kondisi ideal, nilai-nilai keadilan, solidaritas, dan moralitas dijaga sehingga legitimasi pemerintah tetap kuat dan masyarakat mematuhi aturan dengan kesadaran, bukan keterpaksaan.

Namun, pada realitas Indonesia tahun 2025, terjadi disorientas atau erosi kepercayaan masyarakat terhadap institusi negara. Banyak kebijakan dianggap tidak adil, adanya praktik korupsi yang masih merajalela, serta kegagalan elite politik dalam memberi teladan moral yang baik. Akibatnya, legitimasi pemerintah melemah, dan masyarakat merasa tidak lagi memiliki alasan moral untuk mematuhi aturan.

Dampak dari hilangnya nilai dan moral ini adalah:

  • Melemahnya rasa keadilan sosial → rakyat merasa hukum hanya tajam ke bawah, tumpul ke atas.
  • Krisis legitimasi politik → masyarakat kehilangan kepercayaan pada pemimpin.
  • Kecenderungan anarkis → ketika nilai keadilan hilang, masyarakat cenderung menyalurkan kekecewaan lewat kerusuhan.

Dengan demikian, fungsi Latency yang gagal menjaga nilai dasar sosial membuat sistem semakin rapuh. Bila tidak segera dipulihkan, erosi nilai ini dapat memperpanjang siklus krisis sosial di Indonesia.

Keterkaitan Empat Fungsi AGIL dalam Krisis Sosial

Empat fungsi AGIL tidak berdiri sendiri, melainkan saling terkait layaknya roda dalam sebuah mesin. Jika satu roda macet, maka sistem sosial terguncang. Krisis Indonesia 2025 memperlihatkan efek domino kegagalan AGIL:

  • Adaptation gagal → pemerintah tidak mampu menghadapi krisis ekonomi dan politik.
  • Goal Attainment gagal → aspirasi rakyat tidak tersalurkan, tujuan kolektif tidak tercapai.
  • Integration melemah → solidaritas sosial hancur, konflik horizontal meningkat.
  • Latency runtuh → nilai keadilan dan moral melemah, legitimasi pemerintah hilang.

Keterkaitan ini menciptakan lingkaran setan: kegagalan adaptasi memperburuk kegagalan pencapaian tujuan; kegagalan tujuan memicu fragmentasi sosial; fragmentasi sosial semakin mempercepat erosi nilai dan kepercayaan. Pada akhirnya, situasi ini menjadi pemicu utama kerusuhan.

Oleh karena itu, memahami hubungan antar fungsi AGIL penting agar solusi yang diambil tidak parsial, tetapi menyeluruh.

Kerusuhan Indonesia 2025: Sebuah Analisis AGIL yang Komprehensif

Kerusuhan besar yang terjadi pada 2025 dapat dilihat sebagai akumulasi dari kegagalan AGIL. Dari sisi Adaptation, krisis ekonomi global memperburuk keadaan, ditambah ketidakmampuan pemerintah beradaptasi membuat rakyat makin tertekan. Dari sisi Goal Attainment, tujuan rakyat soal kesejahteraan dan keadilan tidak terpenuhi, sehingga muncul protes besar-besaran.

Di sisi lain, Integration juga terganggu akibat meningkatnya politik identitas, konflik horizontal, serta jurang antara rakyat dan elite. Akhirnya, Latency juga runtuh, dengan melemahnya nilai moral, kepercayaan, dan legitimasi negara.

Kerusuhan 2025 bukan hanya soal ekonomi, melainkan gabungan faktor struktural dan kultural yang memperlihatkan rapuhnya fondasi sosial Indonesia. AGIL membantu kita memahami bahwa kerusuhan bukanlah peristiwa spontan, melainkan akibat dari kegagalan sistemik yang sudah berlangsung lama.

Perbandingan dengan Krisis Sosial Sebelumnya di Indonesia

Untuk memahami kerusuhan 2025, penting membandingkannya dengan krisis sosial di masa lalu:

  1. Reformasi 1998
    • Pemicu: krisis moneter, ketidakpuasan pada pemerintahan Orde Baru.
    • Pola: kegagalan adaptasi ekonomi, tujuan rakyat tidak tercapai, integrasi runtuh, legitimasi hilang.
    • Dampak: jatuhnya rezim Soeharto, transisi ke demokrasi.
  2. Konflik Sosial Era Desentralisasi (2000-an)
    • Pemicu: perebutan sumber daya, politik identitas.
    • Pola: integrasi lemah, fragmentasi etnis dan agama.
    • Dampak: konflik horizontal di Maluku, Poso, dan Kalimantan.
  3. Kerusuhan 2025
    • Pemicu: kombinasi krisis ekonomi global, ketidakpuasan politik, dan melemahnya nilai sosial.
    • Pola: semua fungsi AGIL gagal hampir bersamaan.
    • Dampak: kerusuhan lebih luas dan kompleks dibanding krisis sebelumnya.

Kesamaan antara 1998 dan 2025 adalah adanya ketidakmampuan adaptasi ekonomi dan krisis legitimasi politik. Bedanya, pada 2025, kerusuhan lebih kompleks karena diperburuk oleh disintegrasi sosial akibat polarisasi digital dan politik identitas.

Peran Pemerintah dalam Mengelola Krisis Berdasarkan AGIL

Untuk mencegah krisis semakin dalam, pemerintah perlu memperkuat kembali empat fungsi AGIL secara bersamaan:

  1. Adaptation → memperbaiki kebijakan ekonomi dengan fokus pada ketahanan pangan, subsidi energi, dan penciptaan lapangan kerja.
  2. Goal Attainment → menyalurkan aspirasi rakyat melalui mekanisme demokrasi partisipatif, bukan sekadar janji politik.
  3. Integration → membangun solidaritas sosial melalui kebijakan inklusif, meredam politik identitas, serta memperkuat dialog antar kelompok masyarakat.
  4. Latency → memulihkan nilai dan moral bangsa dengan memberantas korupsi, memperkuat hukum yang adil, serta menegakkan kepemimpinan yang berintegritas.

Jika pemerintah hanya fokus pada satu aspek, misalnya ekonomi saja, tanpa memperhatikan integrasi sosial atau pemulihan nilai, maka krisis akan terus berulang. Kunci keberhasilan ada pada sinergi AGIL secara menyeluruh.

Peran Masyarakat Sipil dalam Menjaga Stabilitas Sosial

Selain pemerintah, masyarakat sipil juga memiliki peran yang sangat penting dalam menjaga stabilitas sosial. Dalam kerangka AGIL, masyarakat sipil dapat berkontribusi pada integrasi (integration) dan pemeliharaan nilai (latency) melalui solidaritas, advokasi, serta kontrol sosial terhadap pemerintah.

Beberapa peran strategis masyarakat sipil antara lain:

  • Organisasi masyarakat (ormas) dan LSM → berfungsi sebagai jembatan antara rakyat dengan pemerintah. Mereka dapat menyalurkan aspirasi, mengadvokasi kebijakan, dan membantu menyuarakan isu-isu publik yang sering diabaikan.
  • Aktivisme sosial → berupa demonstrasi damai, kampanye digital, hingga gerakan solidaritas. Aksi-aksi ini dapat memperkuat kesadaran kolektif rakyat sekaligus mengingatkan elite politik akan kewajibannya.
  • Gerakan solidaritas horizontal → saat negara gagal berperan optimal, masyarakat sering mengambil inisiatif mandiri, seperti gerakan donasi, dapur umum, hingga pengorganisasian komunitas untuk membantu sesama.

Jika masyarakat sipil lemah, maka peluang manipulasi politik semakin besar. Sebaliknya, masyarakat sipil yang kuat dapat menjadi penyangga demokrasi dan benteng terakhir untuk mencegah kerusuhan meluas.

Strategi Pencegahan Kerusuhan di Masa Depan

Kerusuhan 2025 menjadi peringatan bahwa sistem sosial Indonesia rapuh jika tidak dikelola dengan baik. Untuk mencegah krisis serupa di masa depan, diperlukan strategi komprehensif yang mencakup keempat fungsi AGIL:

  1. Reformasi Sistem Politik
    • Transparansi dan akuntabilitas dalam pemerintahan.
    • Mengurangi oligarki politik dengan memperkuat partai berbasis ideologi dan aspirasi rakyat.
  2. Peningkatan Partisipasi Publik
    • Melibatkan masyarakat dalam pengambilan kebijakan melalui forum konsultasi publik.
    • Memanfaatkan teknologi digital untuk demokrasi partisipatif.
  3. Pendidikan Sosial dan Moral
    • Pendidikan kewarganegaraan yang menekankan nilai keadilan, empati, dan solidaritas.
    • Kampanye melawan intoleransi dan politik identitas.
  4. Penguatan Ekonomi Rakyat
    • Investasi dalam UMKM dan sektor riil.
    • Kebijakan subsidi yang tepat sasaran.
    • Pembangunan ekonomi berbasis daerah untuk mengurangi kesenjangan.

Strategi-strategi ini hanya akan efektif jika dilaksanakan secara integratif dan tidak setengah hati. Pencegahan kerusuhan bukan sekadar tugas pemerintah, tetapi tanggung jawab seluruh elemen bangsa.

Implikasi Teori AGIL Parsons bagi Indonesia

Teori AGIL Parsons memberi kita kerangka konseptual yang jelas tentang apa yang harus dilakukan agar sistem sosial bertahan. Dalam konteks Indonesia, implikasinya adalah:

  • Adaptation → kebijakan ekonomi harus fleksibel dan responsif terhadap dinamika global.
  • Goal Attainment → tujuan negara harus benar-benar mencerminkan aspirasi rakyat, bukan kepentingan segelintir elite.
  • Integration → harmoni sosial harus terus dipelihara dengan mencegah polarisasi politik dan konflik identitas.
  • Latency → nilai-nilai keadilan, kejujuran, dan moralitas harus ditegakkan agar legitimasi negara tetap kuat.

Jika keempat fungsi ini dijaga, maka Indonesia dapat keluar dari lingkaran krisis sosial-politik yang berulang. Sebaliknya, jika diabaikan, maka potensi kerusuhan akan selalu menghantui perjalanan bangsa.

Tantangan Implementasi AGIL dalam Realitas Indonesia

Meski teori AGIL terlihat ideal, implementasinya dalam realitas Indonesia penuh tantangan. Beberapa hambatan utama adalah:

  1. Hambatan Politik
    • Korupsi sistemik yang melemahkan legitimasi.
    • Politik transaksional yang mengabaikan aspirasi rakyat.
  2. Hambatan Ekonomi
    • Ketergantungan pada ekspor bahan mentah.
    • Kesenjangan ekonomi yang makin melebar.
    • Rentannya ekonomi nasional terhadap gejolak global.
  3. Hambatan Budaya dan Struktural
    • Politik identitas yang terus dimanfaatkan untuk kepentingan jangka pendek.
    • Lemahnya budaya dialog dan kompromi.
    • Kurangnya kesadaran kolektif akan pentingnya nilai moral dan solidaritas.

Kerangka Teologis Tafsir Ayat Al-Qur’an dalam Perspektif AGIL Parsons

Sebagai seorang guru sekaligus dosen, saya meyakini bahwa kerusuhan yang terjadi pada 2 Agustus 2025 tidak dapat dilepaskan dari kegagalan sistem sosial dalam menjalankan fungsi-fungsi pokok sebagaimana dijelaskan dalam teori AGIL Parsons. Al-Qur’an telah memberi rambu-rambu yang jelas: keadilan dalam distribusi (QS. Al-An‘am: 165), orientasi tujuan bersama dalam kebajikan (QS. Al-Maidah: 2), pentingnya persatuan (QS. Ali Imran: 103), dan pembinaan nilai moral (QS. Ar-Ra‘d: 11). Sayangnya, realitas sosial kita sering kali mengabaikan prinsip-prinsip tersebut, sehingga lahirlah kegaduhan dan konflik. Karena itu, pendidikan—baik di sekolah maupun perguruan tinggi—harus hadir bukan hanya sebagai ruang transfer ilmu, tetapi juga sebagai arena penanaman nilai keadilan, persatuan, dan tanggung jawab moral. Dengan begitu, generasi muda tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga tangguh secara moral dalam menjaga kohesi bangsa.

Gambar: Tafsir ayat teori AGIL

Gambar: Tafsir ayat teori AGIL

Dengan tantangan sebesar ini, upaya menerapkan AGIL harus disertai komitmen jangka panjang dan konsistensi. Tanpa itu, teori hanya akan menjadi konsep akademis yang tidak menyentuh realitas sosial.

Sebagai guru dan juga sebagai dosen, kita memandang teori AGIL Parsons memberi cermin bahwa kerusuhan bukan sekadar fenomena spontan, melainkan akibat kegagalan sistem dalam menjalankan empat fungsi pokoknya. Al-Qur’an telah memberikan pedoman: adaptasi dengan adil, pencapaian tujuan dengan kebajikan, integrasi melalui persatuan, dan pemeliharaan nilai lewat pendidikan.

Kesimpulan

Analisis kerusuhan Indonesia 2025 berdasarkan teori AGIL Parsons menunjukkan bahwa krisis sosial tidak muncul secara tiba-tiba, melainkan merupakan hasil dari kegagalan sistemik pada keempat fungsi sosial utama: adaptasi, tujuan, integrasi, dan nilai.

Kegagalan adaptasi menghadapi krisis ekonomi, tidak tercapainya tujuan rakyat, fragmentasi sosial, serta erosi nilai moral telah menciptakan kondisi yang rapuh dan akhirnya meledak dalam bentuk kerusuhan. Namun, teori AGIL juga memberi peta jalan untuk solusi: memperkuat kebijakan adaptif, menyalurkan aspirasi rakyat, membangun solidaritas sosial, serta menjaga nilai keadilan dan moral bangsa.

Kerusuhan 2025 harus menjadi cermin kolektif agar Indonesia belajar, memperbaiki diri, dan mencegah sejarah kelam terulang di masa depan.

Rujukan
AP News. (2025). Indonesian police detain 950 in Jakarta protest crackdown.

Reuters. (2025). Mob sets fire to South Sulawesi parliament building, 3 killed.

The Washington Post. (2025). Death of delivery driver in protest sparks outrage in Indonesia.

Jacobin. (2025). Dark Indonesia protests: workers and youth against oligarchy.

Penulis: Ali Mursyid, S.Hum.,M.Pd (Guru) dan Fardan Abdul Basith, M.Pd (Dosen)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Baca Lainnya

Santri Sabiilunnaja dan KBNU Meriahkan Upacara Hari Santri Nasional 2025 di Lapangan Kecamatan Cipeundeuy

22 Oktober 2025 - 05:52 WIB

KH. Agus Yudhi Mubarak : Santri Harus Kokoh dan Solid untuk Agama dan Bangsa

22 Oktober 2025 - 03:07 WIB

Yayasan Singer Tengah Gelar Pendidikan Politik dan Bela Negara, Dorong Pemuda Cinta Tanah Air

15 Oktober 2025 - 10:30 WIB

SPPG Nagrak Balekambang 2 Salurkan 2.799 Porsi Makanan Bergizi Gratis untuk Anak sekolah di Sukabumi

15 September 2025 - 05:04 WIB

Pemdes Ciharashas Tingkatkan Akses Hukum Masyarakat Lewat Kolaborasi dengan LBH Ansor Bandung Barat

11 September 2025 - 08:02 WIB

Trending di Artikel