Nuqtoh.or.id, Sukabumi – Baru-baru ini, masyarakat dan santri di berbagai daerah diramaikan dengan viralnya cuplikan video dari program Xpose di stasiun televisi Trans7 yang memuat judul dan isi konten “Santrinya minum susu aja kudu jongkok, emang gini kehidupan di pondok?”.
Konten tersebut menuai kecaman dari banyak kalangan yang menilai, judul dan cara penyampaiannya tidak hanya provokatif, tetapi juga merendahkan martabat santri, kiai, dan lembaga pesantren.

Sebagai organisasi pemuda yang dekat dengan pesantren dan tradisi Islam Ahlussunnah wal Jamaah, Ketua PC GP Ansor Kabupaten Sukabumi, Ahmad Firdaus, menyatakan keprihatinan mendalam atas tayangan tersebut. Ia belum menemukan bukti adanya konfirmasi penuh dari pihak Trans7 atau redaksi program Xpose terkait maksud dan konteks dari cuplikan itu.
Dalam keterangannya, Ahmad Firdaus menyatakan bahwa apa pun bentuk tayangan yang berpotensi menistakan atau merendahkan lembaga pesantren harus menjadi bahan evaluasi serius.
“Pesantren bukan sekadar tempat belajar agama, tetapi pusat peradaban yang telah melahirkan ulama, pendidik, dan pejuang bangsa. Di masa penjajahan, pesantren berdiri di garda depan perjuangan kemerdekaan, sementara kini pesantren tetap menjadi benteng moral bangsa,” ujarnya.
Ia menilai bahwa media massa seharusnya menjadi corong edukasi, bukan sarana yang mencederai nilai-nilai luhur pendidikan Islam.
“Kami mengingatkan dengan cara yang santun: berhati-hatilah dalam mengemas humor, jangan sampai mencederai lembaga yang memiliki jasa besar bagi lahirnya Indonesia yang berdaulat dan berakhlak,” tambah Firdaus.
Ahmad Firdaus juga menegaskan bahwa kritik terhadap praktek di pesantren sah-sah saja dalam koridor jurnalistik, tetapi harus dilakukan dengan penuh tanggung jawab dan rasa hormat.
“Pesantren bukan objek hiburan atau bahan lelucon semata. Ia adalah lembaga pendidikan sekaligus pelestari budaya Islam dan nilai-nilai luhur moral masyarakat,” ujarnya.
Ketua GP Ansor Sukabumi meminta agar Trans7 melakukan tiga hal:
- Klarifikasi resmi atas maksud konten tersebut, apakah hanya kritik sosial, satire, atau justru ada unsur pelecehan.
- Permohonan maaf kepada pesantren, kiai, dan santri jika memang ditemukan bahwa tayangan tersebut melewati batas norma penghormatan agama.
- Evaluasi redaksi agar penggunaan judul dan framing tidak hanya menarik perhatian, tetapi juga menjaga keseimbangan, tidak memicu salah persepsi, dan menghormati institusi keagamaan.
Ia juga mengajak masyarakat, khususnya media, untuk mengingat bahwa humor atau kritik ringan pun tidak boleh mengabaikan asas kehormatan. Sebab, bila reputasi pesantren rusak, dampaknya bukan hanya pada lembaga itu sendiri, tetapi juga pada generasi santri yang mengandalkan pesantren sebagai tempat tumpuan pendidikan karakter.
Firdaus berharap agar peristiwa ini menjadi momentum refleksi bersama: media sebagai salah satu pilar demokrasi harus bisa menjalankan fungsinya secara proporsional dan beretika. Sedangkan masyarakat, termasuk santri, harus terus meningkatkan literasi media agar dapat membedakan mana konten yang ringan dan edukatif, serta mana yang menyudutkan atau melecehkan.
“Semoga Trans7 dan media lain mengambil hikmah dari kejadian ini, agar tidak hanya mengejar rating atau viral, tetapi juga menjaga martabat, terutama martabat yang telah dibangun oleh pesantren selama berabad-abad,” ujarnya menutup pernyataan.
________
Editor : Moch Fahmi Amiruddin










