Kemerdekaan bukanlah sekadar tanggal yang diperingati dengan bendera yang berkibar atau karnaval yang meriah. Ia adalah denyut yang tak pernah padam, sebuah kesadaran yang terus diperjuangkan. Jika para pendiri bangsa dahulu menyalakan obor kemerdekaan dengan tinta dan gagasan, maka generasi kini, khususnya para dosen muda, dipanggil untuk menjaga nyala api itu di altar ilmu pengetahuan.
Dosen muda, sering kali dipandang sederhana dan dianggap belum matang, sesungguhnya adalah bara yang menyala dalam diam. Di balik wajah lelah dan langkah yang tertatih, ada jiwa-jiwa yang sedang berikhtiar melepaskan diri dari belenggu keterjajahan intelektual. Mereka mungkin belum merdeka secara materi, tetapi mereka sedang menempuh jalan sunyi menuju kemerdekaan sejati: kemerdekaan berpikir, membaca, menulis, dan mengajar.

Di tengah derasnya arus digital—ketika mahasiswa bisa menggenggam ribuan pengetahuan di layar ponsel, bahkan berdebat dengan mesin kecerdasan buatan—dosen muda ditantang untuk terus bertumbuh. Pena, yang mungkin tampak sepele, bagi mereka adalah pedang peradaban. Dari pena lahirlah keyakinan: bahwa mereka ada, berpikir, dan sanggup menyumbangkan cahaya. Tulisan mereka adalah jejak, diskusi mereka adalah suluh, dan karya mereka adalah jembatan menuju masa depan.
UIN Sunan Gunung Djati Bandung melalui diskursus.id menjadi ruang persemaian itu. Di sana, pena ditempa, gagasan dituang, dan bara literasi ditiup agar menjadi api. Inilah ikhtiar membangun ekosistem kecil yang kelak menjelma peradaban besar, pondasi bagi Indonesia Emas 2045. Sebagaimana pesan Al-Qur’an: “Fastabiqul khairat” — berlombalah dalam kebaikan (QS. Al-Baqarah [2]:148). Menyemai, bukan meniadakan; menumbuhkan, bukan mengikis.
Sejarah memberi teladan: Kartini, lewat surat-suratnya yang kelak terhimpun dalam Habis Gelap Terbitlah Terang (1911), melahirkan jembatan emansipasi. Beberapa dekade kemudian, Tan Malaka melalui Naar de Republiek Indonesia (1925) menyalakan kesadaran politik bahwa republik adalah jalan menuju kemerdekaan. Dari ruang baca Kartini hingga ruang tulis Tan Malaka, literasi membuktikan dirinya sebagai akar yang menumbuhkan kemerdekaan bangsa.
Dari Barat, Plato dalam The Republic (380 SM) mengingatkan, “The direction in which education starts a man will determine his future life.” Pendidikan adalah arah yang menentukan nasib. Dari Timur, Ibnu Khaldun dalam Muqaddimah (1377) menegaskan, “Ilmu adalah fondasi peradaban; jika ia runtuh, maka peradaban pun turut runtuh.” Pesan ini menyalakan kesadaran bahwa dosen muda adalah nakhoda intelektual yang menuntun arah generasi emas Indonesia 2045.
Hari ini, tanda-tanda itu telah menyala: karya ilmiah yang menembus Sinta dan Scopus, buku-buku yang lahir dari tangan muda, hingga beasiswa LPDP-BIB Kemenag yang berhasil digapai. Semua adalah percikan-percikan cahaya, yang bila dirawat, akan menjelma matahari peradaban.
Merdeka sejati bukan hanya politik atau ekonomi, melainkan merdeka dalam berpikir, menulis, dan melahirkan gagasan. Dan dosen muda, dengan segala keterbatasannya, justru adalah lentera kecil yang setia menerangi jalan panjang menuju Indonesia Emas 2045.
Penulis: Dr (C) Fazar Rifqi As Sidik, M.Pd.
Dosen Muda UIN Sunan Gunung Djati Bandung & STIT Az Zahra Tasikmalaya










