Menu

Mode Gelap
Santri Sabiilunnaja dan KBNU Meriahkan Upacara Hari Santri Nasional 2025 di Lapangan Kecamatan Cipeundeuy KH. Agus Yudhi Mubarak : Santri Harus Kokoh dan Solid untuk Agama dan Bangsa GP Ansor Bandung Barat dan BPBD Akan Gelar Lokakarya Santri Siaga Bencana GP Ansor Kabupaten Bandung Barat Gelar Safari Religi Bersama Coklat Kita: Santri Riding dan Ziarah Kubro Warnai Hari Santri 2025 Yayasan Singer Tengah Gelar Pendidikan Politik dan Bela Negara, Dorong Pemuda Cinta Tanah Air Dari Sukabumi, Suara untuk Pesantren: GP Ansor Minta Media Hargai Warisan Moral Bangsa “Pesantren Bukan Bahan Lelucon, Tapi Benteng Moral Bangsa”

Artikel

Analisis Empat Pilar UNESCO dalam Konteks Pendidikan Pesantren

badge-check
Photo Istimewa Fardan Abdul Basith, M.Pd

Photo Istimewa Fardan Abdul Basith, M.Pd

Pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam tertua di Indonesia yang hingga kini tetap eksis dan adaptif menghadapi perkembangan zaman. Sebagai institusi yang mengintegrasikan dimensi religius, sosial, dan kultural, pesantren sejatinya telah menerapkan nilai-nilai empat pilar pendidikan UNESCO, meskipun dengan corak khasnya sendiri.

pembahasan ini sangat cocok dibincang saat ini dikalangan Pendidikan Pesantren, untuk dapat menguatkan perencanaan dan kajian strategis, maka ada empat pilar pendidikan menurut UNESCO, yaitu learning to know, learning to do, learning to live together, dan learning to be, serta relevansinya bagi pengembangan sistem pendidikan Islam di Indonesia. Pendidikan Islam tidak hanya berfungsi sebagai transmisi ilmu keagamaan, tetapi juga memiliki peran strategis dalam membentuk insan kamil yang berilmu, berakhlak mulia, dan mampu menghadapi tantangan global. Dengan pendekatan konseptual dan analisis literatur, artikel ini menegaskan bahwa integrasi empat pilar UNESCO dengan nilai-nilai pendidikan Islam dapat memperkuat kualitas sumber daya manusia sekaligus menjawab problematika kontemporer seperti degradasi moral, disrupsi teknologi, dan krisis identitas.

Kita juga menyadari bahwa pendidikan merupakan instrumen strategis dalam membangun peradaban dan mencetak generasi unggul. UNESCO melalui International Commission on Education for the Twenty-first Century (1996) merumuskan empat pilar pendidikan sebagai landasan konseptual bagi sistem pendidikan global. Pilar tersebut adalah: learning to know, learning to do, learning to live together, dan learning to be. Keempat pilar ini menekankan bahwa pendidikan bukan hanya proses kognitif, tetapi juga mencakup dimensi afektif, sosial, dan personal.

Di sisi lain, sistem pendidikan Islam di Indonesia memiliki dasar filosofis yang berorientasi pada pembentukan insan kamil (perfect man) melalui integrasi ilmu, iman, dan amal. Dengan demikian, terdapat ruang dialog dan harmonisasi antara gagasan UNESCO dan tujuan pendidikan Islam. Artikel ini akan menguraikan secara analitis relevansi empat pilar UNESCO dalam memperkuat sistem pendidikan Islam di Indonesia.

Empat Pilar Pendidikan Menurut UNESCO

  1. Learning to Know (Belajar untuk Mengetahui)
    Pilar ini menekankan pentingnya penguasaan pengetahuan dasar, keterampilan berpikir kritis, serta kemampuan belajar sepanjang hayat (lifelong learning).

  2. Learning to Do (Belajar untuk Melakukan)
    Berorientasi pada keterampilan praktis, penguasaan teknologi, dan kesiapan kerja. Pendidikan tidak hanya menekankan teori, tetapi juga aplikasi nyata.

  3. Learning to Live Together (Belajar untuk Hidup Bersama)
    Menekankan nilai toleransi, kerjasama, dialog, dan penghargaan terhadap keberagaman budaya dan agama. Pilar ini penting dalam membangun perdamaian dan mencegah konflik sosial.

  4. Learning to Be (Belajar untuk Menjadi)
    Pilar ini menitikberatkan pada pengembangan kepribadian, kemandirian, dan identitas diri. Pendidikan diarahkan agar manusia mampu menemukan jati dirinya dan berkontribusi positif bagi masyarakat.

Relevansi Empat Pilar UNESCO dalam Sistem Pendidikan Islam di Indonesia

  1. Learning to Know dan Pendidikan Islam
    Dalam pendidikan Islam, proses ta’lim bertujuan menanamkan pengetahuan berbasis wahyu dan akal. Konsep ini sejalan dengan learning to know yang menuntut penguasaan ilmu secara mendalam. Di madrasah dan pesantren, santri tidak hanya mempelajari ilmu agama, tetapi juga ilmu umum yang mendukung kemampuan berpikir kritis.

  2. Learning to Do dalam Perspektif Islam
    Islam menekankan amal shalih sebagai bukti konkret ilmu. Prinsip ‘ilm tanpa ‘amal dianggap tidak sempurna. Implementasi learning to do terlihat dalam program keterampilan vokasional di madrasah, integrasi teknologi di perguruan tinggi Islam, dan kegiatan kewirausahaan berbasis masjid atau pesantren.

  3. Learning to Live Together dan Konsep Ukhuwah
    Islam mengajarkan ukhuwah islamiyah, wathaniyah, dan insaniyah. Konsep ini relevan dengan learning to live together yang menekankan dialog, toleransi, dan kerja sama. Di Indonesia, pesantren telah lama menjadi pusat moderasi beragama yang mempraktikkan nilai kebersamaan di tengah keragaman.

  4. Learning to Be dan Konsep Insan Kamil
    Pendidikan Islam bertujuan membentuk insan kamil yang memiliki keseimbangan intelektual, spiritual, dan moral. Hal ini identik dengan learning to be yang berorientasi pada pengembangan identitas diri dan kepribadian. Melalui pendekatan sufistik dan tarbiyah akhlak, pendidikan Islam memberikan bekal spiritualitas yang kuat.

Tantangan dan Prospek

Meski terdapat keselarasan, penerapan empat pilar UNESCO dalam pendidikan Islam Indonesia menghadapi tantangan, antara lain:

  • Ketimpangan mutu pendidikan antara sekolah umum dan madrasah/pesantren.

  • Disrupsi teknologi yang menuntut adaptasi kurikulum berbasis digital.

  • Degradasi moral yang membutuhkan penguatan adab sebagai basis karakter.

Namun demikian, integrasi empat pilar UNESCO dengan sistem pendidikan Islam berpotensi mendorong terciptanya generasi Qur’ani yang cerdas, terampil, toleran, dan berakhlak mulia.

Learning to Know: Tradisi Keilmuan Pesantren
Pesantren mengajarkan kitab kuning (kutub al-turats) yang meliputi tafsir, hadis, fiqih, nahwu, sharaf, hingga tasawuf. Proses pembelajaran berlangsung melalui metode sorogan, bandongan, dan halaqah yang menekankan penguasaan ilmu secara bertahap. Hal ini sejalan dengan pilar learning to know, di mana santri tidak hanya memperoleh ilmu agama, tetapi juga mengembangkan kecakapan intelektual yang menuntut ketekunan dan kemandirian belajar.

Learning to Do: Amal Praktis dan Keterampilan Hidup
Pesantren mendidik santri untuk mengamalkan ilmu melalui praktik ibadah, pengabdian masyarakat (khidmah), dan kemandirian hidup. Banyak pesantren modern juga membuka program keterampilan seperti pertanian, kewirausahaan, teknologi informasi, bahkan kursus bahasa asing. Ini menunjukkan implementasi learning to do dalam mencetak santri yang siap berperan di masyarakat dengan bekal kompetensi praktis.

Learning to Live Together: Budaya Hidup Kolektif di Pesantren
Kehidupan santri yang berasrama mengajarkan disiplin, kebersamaan, dan toleransi. Santri berasal dari latar belakang sosial dan daerah yang berbeda, tetapi hidup dalam suasana egaliter dengan satu visi keilmuan dan pengabdian. Pola interaksi ini merupakan praktik nyata dari learning to live together. Pesantren menjadi miniatur masyarakat plural yang menumbuhkan sikap ukhuwah, toleransi, dan solidaritas.

Learning to Be: Pembentukan Insan Kamil
Pendidikan pesantren tidak hanya berorientasi pada aspek kognitif, tetapi juga akhlak dan spiritualitas. Melalui keteladanan kiai, pembiasaan ibadah, serta latihan disiplin diri, pesantren membentuk karakter santri yang mandiri, tawadhu, dan berintegritas. Hal ini sejalan dengan learning to be yang bertujuan melahirkan individu dengan kepribadian utuh—berilmu, berakhlak, dan memiliki kesadaran diri sebagai hamba Allah sekaligus khalifah di bumi.

Implikasi bagi Sistem Pendidikan Islam di Indonesia

Analisis di atas menunjukkan bahwa pesantren sebenarnya telah menjadi model pendidikan yang sesuai dengan empat pilar UNESCO, bahkan jauh sebelum konsep itu digagas. Tantangannya adalah bagaimana pesantren mampu beradaptasi dengan perkembangan zaman tanpa kehilangan ruh tradisionalnya. Integrasi kurikulum nasional, penguatan teknologi digital, serta pemberdayaan ekonomi pesantren menjadi langkah penting untuk memastikan relevansi pesantren dalam mencetak generasi Qur’ani yang berdaya saing global.

Empat pilar pendidikan UNESCO memiliki relevansi mendalam dengan sistem pendidikan Islam di Indonesia. Learning to know sejalan dengan ta’lim, learning to do dengan amal shalih, learning to live together dengan ukhuwah, dan learning to be dengan visi insan kamil. Dengan memadukan keempat pilar tersebut, pendidikan Islam di Indonesia dapat menjawab tantangan global sekaligus menjaga nilai-nilai spiritual dan moral bangsa.

Penulis: Fardan Abdul Basith, M.Pd merupakan Dosen, Akademisi, dan Aktivis Muda NU, Serta Penulis Buku yang aktif dalam kegiatan sosial kemasyarakatan, kepemudaan, Desa, dan kebangsaan, konsentrasinya didunia Pendidikan ia buktikan saat ini sedang meneruskan studi S3 dengan konsentrasi Manajemen Pendidikan Islam mengambil program Besaiswa Kemenag RI BIB LPDP  di tahun 2025 ini.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Baca Lainnya

Santri Sabiilunnaja dan KBNU Meriahkan Upacara Hari Santri Nasional 2025 di Lapangan Kecamatan Cipeundeuy

22 Oktober 2025 - 05:52 WIB

KH. Agus Yudhi Mubarak : Santri Harus Kokoh dan Solid untuk Agama dan Bangsa

22 Oktober 2025 - 03:07 WIB

Yayasan Singer Tengah Gelar Pendidikan Politik dan Bela Negara, Dorong Pemuda Cinta Tanah Air

15 Oktober 2025 - 10:30 WIB

SPPG Nagrak Balekambang 2 Salurkan 2.799 Porsi Makanan Bergizi Gratis untuk Anak sekolah di Sukabumi

15 September 2025 - 05:04 WIB

Pemdes Ciharashas Tingkatkan Akses Hukum Masyarakat Lewat Kolaborasi dengan LBH Ansor Bandung Barat

11 September 2025 - 08:02 WIB

Trending di Artikel