Menu

Mode Gelap
Santri Sabiilunnaja dan KBNU Meriahkan Upacara Hari Santri Nasional 2025 di Lapangan Kecamatan Cipeundeuy KH. Agus Yudhi Mubarak : Santri Harus Kokoh dan Solid untuk Agama dan Bangsa GP Ansor Bandung Barat dan BPBD Akan Gelar Lokakarya Santri Siaga Bencana GP Ansor Kabupaten Bandung Barat Gelar Safari Religi Bersama Coklat Kita: Santri Riding dan Ziarah Kubro Warnai Hari Santri 2025 Yayasan Singer Tengah Gelar Pendidikan Politik dan Bela Negara, Dorong Pemuda Cinta Tanah Air Dari Sukabumi, Suara untuk Pesantren: GP Ansor Minta Media Hargai Warisan Moral Bangsa “Pesantren Bukan Bahan Lelucon, Tapi Benteng Moral Bangsa”

Artikel

Guru Pengecut, Murid Turun ke Jalan: Ironi Pendidikan dan Demokrasi di Indonesia”

badge-check


					Guru Pengecut, Murid Turun ke Jalan: Ironi Pendidikan dan Demokrasi di Indonesia” Perbesar

Pada 25, 29, dan 30 Agustus 2025, ribuan mahasiswa, pekerja ojek online, dan pelajar tumpah ruah ke jalan. Mereka menolak kenaikan tunjangan DPR RI yang dianggap mencederai rasa keadilan publik. Suara itu lantang, penuh semangat, dan menunjukkan bahwa generasi muda masih berani menyuarakan kebenaran di tengah ketidakpedulian banyak pihak.

Namun, di balik gegap gempita demonstrasi itu, ada kenyataan yang membuat saya, sebagai seorang guru, merasa malu sekaligus kecewa: masih banyak guru yang memilih diam. Diam ketika muridnya berjuang. Diam ketika ketidakadilan terjadi di depan mata. Diam sambil menyembunyikan ketakutan pribadi di balik alasan “menjaga ketertiban.”

Guru dan Ketakutan yang Membelenggu
Banyak guru melarang murid ikut demonstrasi dengan alasan klasik: “tidak sopan,” “berbahaya,” atau “bukan urusanmu.” Tetapi kita tahu, larangan itu lahir bukan dari kepedulian, melainkan dari ketakutan. Takut berurusan dengan kepala sekolah atau pejabat berwenang. Takut dicap melawan arus. Takut kehilangan jabatan, tunjangan, atau sertifikasi.

Guru yang seharusnya menjadi teladan keberanian justru berubah menjadi penjaga ketertiban semu. Mereka lebih suka murid yang patuh, duduk manis di kelas, mengangguk pada perintah, lalu pulang tanpa tanya. Padahal, di balik kepatuhan semacam itu, kita sedang membunuh daya kritis generasi muda.

Ironi Pendidikan Demokrasi
Inilah wajah pendidikan kita hari ini: pandai berceramah tentang demokrasi di ruang kelas, tetapi gagap ketika demokrasi benar-benar dipraktikkan di jalan. Pendidikan kita rajin menjejalkan hafalan, tetapi miskin keberanian moral. Kita sedang mencetak generasi pintar mengerjakan soal ujian, tetapi bisu ketika melihat ketidakadilan.

Mari jujur: sekolah di Indonesia lebih sibuk mencetak “manusia patuh” ketimbang “manusia merdeka.” Walaupun kurikulum terbaru dinamakan Kurikulum Merdeka, pada praktiknya sekolah masih alergi dengan murid yang berbeda pendapat. Murid yang kritis dianggap pembangkang, sementara yang penurut dipuji sebagai teladan. Guru—baik PNS maupun non-PNS—terjebak menjadi birokrat kecil, bukan pendidik sejati.

Belajar dari Sejarah
Padahal, sejarah bangsa ini jelas: kemerdekaan Indonesia tidak lahir dari murid-murid yang patuh di kelas, melainkan dari generasi muda yang berani menantang arus. Dari Sumpah Pemuda hingga gerakan mahasiswa 1998, keberanian untuk menyuarakan keadilan selalu datang dari anak-anak muda.

Maka, jika hari ini mahasiswa, ojol, dan pelajar berani turun ke jalan menolak kenaikan tunjangan DPR RI, itu sesungguhnya adalah kabar baik. Artinya, semangat kritis mereka belum sepenuhnya berhasil dijinakkan oleh pendidikan formal yang terlalu patuh pada aturan.

Solusi: Bukan Melarang, tapi Membimbing
Lantas, apa seharusnya sikap guru? Apakah membiarkan murid liar di jalan? Tentu tidak. Peran guru bukanlah membungkam, melainkan mendidik dan membimbing.

Guru bisa mengajarkan manajemen aksi di kelas: bagaimana merencanakan demonstrasi yang teratur, bagaimana berkoordinasi, bagaimana menyampaikan tuntutan dengan jelas. Guru juga bisa menjelaskan tata cara demonstrasi sesuai undang-undang: pentingnya izin, menjaga ketertiban umum, melindungi keselamatan diri dan orang lain, serta etika dalam menyuarakan pendapat.

Dengan begitu, jika murid kelak ikut aksi, mereka tahu bagaimana berdiri dengan benar, bukan sekadar ikut-ikutan atau menjadi korban provokasi. Inilah peran pendidikan yang sejati: membentuk warga negara yang kritis, berani, tetapi juga sadar hukum.

Diam Adalah Keberpihakan
Saya tidak sedang mendorong semua murid untuk demo. Tetapi saya muak dengan guru yang pura-pura netral, pura-pura apolitis, pura-pura tidak peduli—padahal diamnya mereka adalah bentuk keberpihakan pada status quo.

Guru sejati bukan yang hanya aman di balik meja dan spidol. Guru sejati adalah yang berani berdiri bersama muridnya, mengarahkan mereka agar menjadi warga negara yang kritis, berani, merdeka dari rasa takut, sekaligus bertanggung jawab.

Kalau guru sendiri pengecut, jangan salahkan murid jika mereka lebih percaya jalanan ketimbang ruang kelas.

 

Wisnu ramdan

Guru & pengamat pendidikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Baca Lainnya

Santri Sabiilunnaja dan KBNU Meriahkan Upacara Hari Santri Nasional 2025 di Lapangan Kecamatan Cipeundeuy

22 Oktober 2025 - 05:52 WIB

KH. Agus Yudhi Mubarak : Santri Harus Kokoh dan Solid untuk Agama dan Bangsa

22 Oktober 2025 - 03:07 WIB

Yayasan Singer Tengah Gelar Pendidikan Politik dan Bela Negara, Dorong Pemuda Cinta Tanah Air

15 Oktober 2025 - 10:30 WIB

SPPG Nagrak Balekambang 2 Salurkan 2.799 Porsi Makanan Bergizi Gratis untuk Anak sekolah di Sukabumi

15 September 2025 - 05:04 WIB

Pemdes Ciharashas Tingkatkan Akses Hukum Masyarakat Lewat Kolaborasi dengan LBH Ansor Bandung Barat

11 September 2025 - 08:02 WIB

Trending di Artikel