Negara dengan Pemimpin Sewenang-wenang Akan Hancur
Imam Al-Ghazali pernah mengatakan, “Negara dengan pemimpin sewenang-wenang akan hancur, meskipun muslim. Negara dengan pemimpin yang adil akan jaya, meskipun kafir.” Kutipan ini terasa relevan dengan kondisi Indonesia hari ini. Demo yang berlangsung di beberapa daerah pada Agustus lalu menjadi perhatian publik. Aksi itu bukan terjadi tanpa sebab. Di Pati, misalnya, demonstrasi pecah akibat sikap angkuh pejabat eksekutif terhadap rakyat serta maraknya kasus mega korupsi yang melibatkan pejabat pemerintah.


Rakyat kini berada dalam posisi sulit. Ekonomi lesu, daya beli menurun, harga pupuk dan bahan pokok melonjak, sementara lapangan kerja sempit dan pengangguran merebak di mana-mana. Obrolan di warung, pasar, hingga sawah memperlihatkan keresahan yang sama: ketidakadilan dan penderitaan yang semakin nyata.
Sejak berakhirnya Pemilu 2024 hingga Pilkada, masyarakat merasakan langsung kesulitan hidup. Alih-alih menghasilkan pemimpin yang adil, amanah, dan jujur, pesta demokrasi itu justru melahirkan elite yang lebih mementingkan popularitas dibandingkan perubahan sistem demi kesejahteraan rakyat.
Siapa yang Bertanggung Jawab?
Pertanyaan besar pun muncul: siapa yang bertanggung jawab atas kondisi ini? Masyarakat sering menyalahkan pemerintah, namun lupa bahwa rakyat juga bagian penting dalam proses demokrasi. Masyarakat yang memilih anggota legislatif, eksekutif, hingga pejabat lokal adalah pihak yang menentukan arah bangsa. Sayangnya, praktik money politics dan politik transaksional masih marak, sehingga rakyat pun ikut berdosa atas situasi hari ini.
Biaya politik di Indonesia tidak sedikit. Selain dana kampanye resmi, ada pula serangan fajar dan politik uang yang hanya memuaskan kebutuhan sesaat. Akibatnya, rakyat kehilangan daya tawar politik dan sekadar menjadi komoditas demokrasi: suara yang dibeli lalu dilupakan.
Di Mana Posisi Aktivis?
Indonesia tidak kekurangan aktivis maupun organisasi mahasiswa. Dari GMNI, HMI, KAMMI, IMM, PMII, IPNU-IPPNU, Ansor, Pemuda Muhammadiyah, hingga organisasi kepemudaan lainnya. Namun, apa peran mereka saat pemilu? Banyak yang justru sibuk menjadi tim sukses atau bagian dari partai politik ketimbang melakukan pendidikan politik bagi masyarakat. Orasi di mimbar memang lantang, tapi jangan sampai rakyat ditipu dengan bahasa akademis. Aktivis seharusnya hadir mendampingi rakyat, bukan sekadar mencari posisi di lingkaran kekuasaan.
Partai Politik dan Tanggung Jawab Moral
Partai politik sejatinya memegang peran sentral. Mereka seharusnya bertanggung jawab atas rusaknya moral bangsa, kemiskinan, pengangguran, hingga rendahnya kualitas pendidikan. Sebab, kebijakan publik dan undang-undang dirumuskan di parlemen, bukan oleh rakyat biasa. Anggota DPR dan pejabat yang duduk di kursi kekuasaan adalah kader partai. Namun, alih-alih mendidik kader yang berkualitas, partai lebih sibuk mengejar elektabilitas dan popularitas.
Kondisi hari ini memperlihatkan wajah politik yang muram. Beberapa anggota DPR bahkan terkesan melecehkan penderitaan rakyat: berjoget di tengah krisis, melontarkan pernyataan menantang rakyat, hingga memperlihatkan sikap arogan. Mereka lupa dipilih oleh siapa, dan untuk siapa seharusnya mereka bekerja.
Penutup
Jika rakyat terus menjadi objek politik tanpa pendidikan politik yang memadai, maka suara rakyat akan selalu terabaikan setelah pemilu. Kita hanya menjadi alat bagi kepentingan oligarki. Saatnya masyarakat sadar bahwa perubahan tidak datang dari elite semata, tetapi dari kesadaran kolektif rakyat untuk tidak menjual suara dan berani menuntut keadilan.











